Archlinux Distro yang Saya Gunakan Sehari-hari

archlagi

Distro Archlinux ini merupakan distro favorit saya yang digunakan sehari-hari. Baik itu untuk bekerja, sekadar browsing, ngoding ataupun ngoprek. Pada Artikel kali ini, saya akan menjelaskan tentang Archlinux itu sendiri, baik pengertian ataupun kekurang-kelebihannya, yang dibahas dengan bahasa yang ringan yakni bahasa saya sendiri, juga berdasarkan hemat pandang saya sendiri tapi tidak bersifat subjetif.

Pendahuluan

Distro Archlinux ini merupakan distro Linux independen artinya dibangun dari nol (from scratch) merupakan salah satu distro Linux 10 besar terbanyak pengguna dari sekian banyaknya distro Linux, Anda bisa lihat di Distrowatch. Archlinux dibangun atas dasar sebuah semboyan filosofi KISS (Keep It Simple Stupid) dimana keserderhana adalah salah satu ciri khas dari Arch itu sendiri.
Sederhana disini diartikan sebagai, seluruh aplikasi yang Anda inginkan berada ditangan Anda sendiri tidak terpaku pada paket itu sendiri. Seperti Anda ingin menggunakan DE (Desktop Environment) Gnome, KDE, XFCE atau apapun, atau tidak menggunakan DE melainkan hanya WM (Windows Manager) saja. Semua tergantung bagaimana nantinya Arch Anda gunakan, untuk keperluan apa Anda gunakan disesuaikan dengan kehendak Anda.
Lain halnya dengan distro yang sudah satu paket dalam ISO nya. Terkadang ada saja aplikasi yang kita tidak butuhkan namun aplikasi itu menjadi sebuah aplikasi inti dari distro itu, jika kita hapus maka akan mempengaruhi sistem. Di Archlinux tidak demikian. Inilah arti daripada kesederhanaan Arch.

Kelebihan dan Kekurangan Arch

Setiap distro Linux memiliki kelebihan serta kekurangan masing-masing, begitu juga dengan Archlinux tidak luput dari kekurangan di samping kelebihan. Adapun kelebihan dari distro Archlinux menurut cara pandang saya sebagai berikut:
  1. Rolling-Release, ini adalah sebuah kelebihan utama dari Archlinux itu sendiri. Dimana memungkinkan kita jika upgrade sistem tidak perlu mengunduh ulang ISO Archlinux atau menginstal ulang Archlinux. Karena dengan Anda meng-update software, bisa jadi meng-upgrade sistem juga. Dengan metode rolling-release ini, selalu menjaga sistem Anda up-to-date.
  2. Bleeding Edge, adalah sebuah istilah dimana Anda selalu dapat menikmati perangkat lunak terbaru lagi stabil.
  3. Wiki yang lengkap (https://wiki.archlinux.org/). Wiki Arch merupakan sebuah wiki panduan yang lengkap dan disusun rapi, juga dengan berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Sayangnya, Wiki Arch yang berbahasa Inggrislah yang lengkap.
  4. Performa, karena Archlinux ketika diinstal dibangun atas dasar keinginan pengguna itu sendiri. Mau dijadikan apa Arch tersebut? Atau mau dinstal aplikasi apa saja di Arch tersebut? Semua tergantung pengguna itu sendiri.
  5. Paket Manager yang cukup baik. Archlinux menggunakan paket manager pacman. Seperti halnya distro lain seperti Ubuntu dengan apt-get nya; Fedora dengan yum nya; Open Suse dengan zypper nya; Gentoo dengan emerge nya, dan lain sebagainya.
  6. AUR (Archlinux User Repository) ini adalah kelebihan tersendiri dari Archinux dibandingkan dengan distro lain, dimana paket manager tidak hanya berfokus pada offical repository saja. Melainkan, kita juga bisa menggunakan unofficial repository tanpa harus menambahkan pada daftar repo. Seperti halnya PPA (Personal Package Archives) milik Ubuntu, untuk menggunakannya Anda harus menambahkan dulu pada daftar repo-nya, jika tidak Anda tidak bisa menginstal aplikasi dari PPA. Lain halnya dengan AUR milik Archlinux. Anda tidak perlu menambahkan pada daftar repo Anda, cukup ketik perintah yaourt -S aplikasi maka aplikasi dari unofficial repository bisa Anda dapatkan.

Sedangkan kekuranganya adalah sebagai berikut:

  1. Rolling-Release. Menjadi kelebihan sekaligus kekurangan, kekurangannya Anda membutuhkan sebuah koneksi dan kuota Internet yang cukup besar jika Archlinux tidak di-update. Saya pernah mendengar kawan saya Archlinux-nya tidak di-update selama satu bulan, begitu dia update, dia terkejut update yg dibutuhkan sekitar 2 GB lebih dia menggunakan KDE. Sebenarnya besar kecilnya update tergantung DE yang kita gunakan, jika Anda pengguna Gnome atau KDE, mungkin update-nya akan besar, jika tidak mungkin Arch hanya update besar jika ukuran aplikasi itu memang dasarnya besar, seperti LibreOffice. Sebenarnya menurut saya metode rolling-release ini tidak jauh beda dan sama saja dengan mengunduh ulang ISO dari sebuah distro jika terjadi update besar (upgrade system). Bedanya kita cukup ketik peritah update maka aplikasi menjadi terbaru begitu juga dengan sistem. Lain halnya dengan distro lain, meskipun bisa dengan cara upgrade melalui aplikasinya, tapi kebanyakan menurut mereka lebih baik upgrade dengan cara clean install.
  2. Bleeding Edge. Ini juga kelebihan sekaligus kekurangan. Adanya metode inilah yang menyebabkan Archlinux itu cenderung selalu update. Meskipun dengan bleeding edge Anda dapat merasakan aplikasi terbaru, tapi tidak selamanya yang terbaru lebih bagus dari yang terdahulu. Bisa saja malah lebih buruk dari versi sebelumnya. Bisa jadi metode ini merupakan metode seperti kelinci percobaan. Mengapa saya katakan demikian? Kerena pengguna terbaru cendurung lebih sedikit, dan merekalah yg awalnya merasakan keburukan dari salah satu produk.
  3. Instalasi mewajibkan menggunakan Internet. Meskipun pada dasarnya Archlinux itu bisa diinstal secara luring (offline) (Anda bisa baca: https://wiki.archlinux.org/index.php/offline_installation_of_packages) membuat Arch offline installer memiliki banyak kekurangan. Terkecuali jika Anda memang bisa membangunnya sendiri seperti distro turunan Archlinux ini yakniΒ Manjaro dan Antergos.
  4. Archlinux tidak disarankan digunakan untuk OS Server. Mengapa? salah satu faktornyaΒ  utamanya adalah karena Archlinux memakai aplikasi bleeding edge, meskipun sudah dicap stabil oleh pihak komunitas Archlinux itu sendiri, seperti yang saya katakan sebelumnya sesuatu yang terbaru belum tentu lebih baik dari pada yang terdahulu. Lagi pula pengguna Server itu tidak sama dengan pengguna Desktop. Kemudian metode rolling-release ini di satu sisi cocok untuk server, tapi di sisi lain malah membuang kuota bandwidth Anda, apalagi jika Anda menyewa sebuah server dengan kapasitas bandwidth yang tidak banyak, ini akan sangat merugikan.
  5. Bukan untuk pengguna awam Linux. Archlinux ini tergolong level menengah, jika Anda pengguna baru dalam dunia Linux. Archlinux sangat tidak disarankan. Mengapa? Ini akan mematikan semangat Anda untuk menggunakan Linux. Ibaratnya Anda baru memasuki SD lalu diberikan pelajaran SMP yang bukan kelas atau level Anda pada saat itu? Pasti ini akan menimbulkan kemalasan dan mematikan semangat belajar, karena terlalu sukar bagi Anda. Bukankah kita belajar dari SD dahulu baru nanti naik tingkat ke SMP?

Mengapa Saya Memilih Archlinux?

Sebelum menggunakan Archlinux, saya juga pernah menggunakan distro lainnya, seperti PCLinuxOS, Ubuntu, Fedora, PuppyLinux, Slackware, Gentoo, dll. Semua distro memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Saya menggunakan Arch baru-baru ini saja, sejak 2013. Sebelumnya saya sudah tahu adanya distro Linux yang bernama Archlinux ini, tapi dulu saya belum berniat mencoba. Karena pada saat itu saya masih senang dengan Fedora. Ketika saya sudah mencoba instal Archlinux, saya malah jatuh cinta sepenuhnya, dan enggan ingin mencoba distro lain, kecuali saya instal di Virtualbox.Saya memilih Archlinux karena tiga sebab pertama saya senang metode rolling-release dan bleeding-edge dari Arch; dan yang kedua, karena AUR. AUR ini memudahkan saya jika ingin menginstal aplikasi yang tidak ada di official repository, dengan adanya AUR saya jadi terbantu mengkompil tanpa harus mengetahui depedensi dari aplikasi tersebut. Karena umumnya AUR itu bersumber atas dasar kode sumber (source code). Meskipun ada yg langsung diberikan binary nya tanpa harus kompil, seperti Google Chrome, Genymotion, dan lain sebagainya. Juga dari sumber paket manager lainnya seperti DEB (Paket manager milik Debian), contohnya TeamViewer diambil dari sumber DEB (https://aur.archlinux.org/packages/teamviewer/). Bahkan adapula yg bersumber dari RPM (Paket Manager milik RedHat), contoh seperti ImageWriter (https://aur.archlinux.org/packages/imagewriter/). Karena sebab itulah saya menyukai Archlinux; yang ketiga, karena kesederhanaan dari Archlinux itu sendiri.

Kesimpulan

Archlinux merupakan distro independen yang menggunakan metode rolling-relase lagi bleeding-edge yang mana memiliki ciri khas tersendiri yakni ada pada kesederhanaan dan paket manager yang ditawarkan. Archlinux tidak disarankan digunakan oleh mereka yang awam terhadap Linux, setidaknya minimal untuk menginstal Archlinux diperlukan pengetahuan dasar tentang Linux itu sendiri.

Artikel Terkait

22 responses to “Archlinux Distro yang Saya Gunakan Sehari-hari”

  1. Ade Malsasa Akbar Avatar

    Well said. Kok bisa persis keinginan saya, yaa? Setiap pengguna ditro menulis mengenai distronya. Tulisan yang seperti ini tulisan yang mewakili sang penulis. Tulisan maskot.

    1. Ali Avatar
      Ali

      Hmmm sama persis bagaimana Kang?

  2. Akbar Bahaulloh Avatar

    rolling-release memang sangat cocok sekali untuk komputer yang digunakan produktivitas sehari-hari. dimana komputer tersebut tidak boleh bolak balik diinstal ulang…

    dibandingkan dengan Arch, saya lebih suka turunannya yaitu Manjaro.

    http://puskomedia.com/manjaro-distro-linux-yang-barokah/

  3. Matori Alldeb Avatar

    wah keren jadi pengen coba archlinux πŸ˜€

    1. Ali Avatar
      Ali

      Silahkan kang, jika kesulitan bisa lihat tutorial cara installnya:
      http://situsali.com/instal-archlinux-dengan-xfce/

      Di sana terdapat video yang bisa diunduh, jika merasa sulit memahami apa yg saya tulis.
      Terima kasih. πŸ˜€

  4. Dhanny Perdana Avatar

    Mantap tulisannya banyak membuka informasi tentang distro ini, saya pakai lubuntu terus selama ini. Memang ada niat pindah dan sambil cari referensi dulu

    1. Ali Avatar
      Ali

      Oke gan sama sama πŸ™‚

  5. cidtux Avatar

    Mantap om… Sy udah hampir 4 tahun masih di rolling archnya.. Walau pacman syu sesekali saja per tahun.. Tp sistem tetep stabil seperti waktu fresh install… πŸ˜€

    Salam dr arch user jg om… πŸ™‚

  6. Luqmanul Hackim Avatar

    Katanya, meski Rolling Release, Arch Linux minim bentrok atau kekeliruan karena versi paket baru ya gan ?

    Saya tertarik menggunakan Arch Linux nih tapi masih takut tidak stabil, ini saja saya lagi pakai Kubuntu 15.10 (versi terbaru saat komen ini saya tulis) dan sering terjadi crash dan beberapa error, ya bisa dikatakan tidak stabil lah.

    Saya jatuh cinta dengan KDE gan, dan saya merasa Kubuntu ini agak kurang gimana gitu karena aslinya kan pakai Unity yakni Ubuntu, jadinya next time mungkin saya coba openSUSE dulu, kemudian Arch Linux, sambil belajar di VirtualBox dulu.

    Oh ya, saya setuju bahwa software versi baru tidak mesti malah lebih baik, justru sering lebih jelek dari versi lawas, dan mayoritas pengguna hanya melihat nomor versi saja tanpa melihat changelog atau release note dari pembaharuan yang ada, yang penting up to date saja, padahal fitur yang dikenalkan di versi baru tidak digunakan dan bahkan fitur baru itu malah bikin tidak stabil, dan yang bikin sebel adalah di versi baru fitur yang kita suka malah dihilangkan.

    Saya masih “hunting” Distro Linux nih, saya tidak puas dengan Ubuntu dan turunannya,,, yang saya cari cuma satu = stabil, bodo amat softwarenya versi berapa pun.

    Tapi… ada satu yang bikin saya kalah, yakni kalo soal menyangkut Tampilan, contohnya saya sebenarnya suka Kubuntu 14.04 LTS karena kestabilannya, tapi perubahan radikal yang dilakukan KDE pada versi Plasma 5 membuat saya kadung cinta dengan KDE Plasma 5 yang cuma ada di Kubuntu 15.10.

    Karena saya suka KDE, maka saya pilih openSUSE yang setau saya para “pentolan” KDE adalah orang-orang yang mengembangkan openSUSE (karyawan Novell). Sejauh ini saya coba-coba di VirtualBox sih hasilnya memuaskan, lebih baik dari Kubuntu.

    1. Ali Avatar
      Ali

      Katanya, meski Rolling Release, Arch Linux minim bentrok atau kekeliruan karena versi paket baru ya gan ?

      Iya

      Saya tertarik menggunakan Arch Linux nih tapi masih takut tidak stabil

      sejauh pemakaian saya dari 2013 hingga sekarang ya..stabil. Tapi terkadang suka error, hal itu wajar karena rolling-release itu sendiri. Dan saya sampai sekarang cuma full Archlinux saja.

      Tapi… ada satu yang bikin saya kalah, yakni kalo soal menyangkut Tampilan

      Kalau memang karena suka KDE kenapa tidak diinstall saja KDE tersebut pada distro yang sudah akang pakai?
      Kalau di Archlinux keunikannya memang kita sendiri yang menentukan, saya pribadi pengguna Gnome 3, sejak awal Gnome 3 itu ada saya sudah suka. Dulunya saya pakai fedora sebelum Arch karena fedora ini distro yang bleeding-edge dan sudah pasti menggunakan Gnome terbaru.

  7. Heriipurnama Avatar

    ditronya kece lho

  8. Yus Yulianto Avatar

    Sebenarnya saya sudah lama ingin menggunakan archlinux, tapi entah kenapa belum kesampaian sampai sekarang. Pernah beberapa kali mencoba mengunduh nya di kampus, tapi gagal karena berbagai macam hal. Pas sudah di unduh, lalu saya pindahkan iso nya ke flashdisk, eh flashdisk nya rusak. Mungkin memang belum jodoh dengan archlinux. Heuheu… Akhirnya sampai sekarang masih setia dengan elementary.

    1. Ali Avatar
      Ali

      Hahaha dicoba Manjaro dulu mas, siapa tau cocok. ?
      Manjaro kan turunan Archlinux, yang dipermudah dari sisi instalasi.?

  9. Yance Lawang Avatar
    Yance Lawang

    Kesan saya pertama kali semenjak beralih dari ubuntu ke arch linux adalah: LEBIH STABIL. Terutama saat penggunaan libreoffice dengan banyak window terbuka, di ubuntu sering crash tapi di arch linux enteng dan lancar2 saja. Untuk saya, jeleknya menggunakan arch linux karena setelah make arch linux saya jadi gak pernah mau nyoba2 distro lain lagi :). Semua pasti ada kelebihan dan kekurangannya, enaknya linux kita bebas memilih karena banyak distronya. Tinggal pilih sesuai selera, pola pikir, dan kemampuan hehehe.

  10. masdrajat Avatar

    Singkat saja ya, saya suka tulisan sederhana anda yang mengena dan sesuai dengan pemikiran saya. Good jobs dude.

  11. Rania Amina Avatar

    Senang membaca tulisan ini…

  12. Yusdian Avatar
    Yusdian

    keren eh arch linux…tp mw coba turunannya dulu, manjaro KDE plasma. tks ulasannya gan

  13. Gatry Amalia Sari Avatar
    Gatry Amalia Sari

    Terimakasih untuk infonya

  14. SULAIMAN Avatar
    SULAIMAN

    i love and like arch linux

  15. HadeesKyu Avatar

    Kang kalo saran akang distro linux yang cocok buat web developer apa ya? misalkan saya kasih 3 opsi : debian, manjaro, arch.
    mohon bantuan nya kang, terimakasih πŸ™‚

    1. Ali Avatar

      Distro apapun bisa buat web developer, tapi saya sarankan pakai yang nyaman saja. Saya sendiri web developer, pakai distro apapun gak masalah bahkan OS apapun gak masalah juga πŸ˜€

  16. Lukmanul Hakim Avatar

    Saya mengutamakan kestabilan, bukan yang penting asal versi terbaru (alasannya sudah disebutkan di artikel ini).

    Bahkan, Windows 10 sekarang ini bisa saya katakan sudah menganut sistem Rolling Release, sudah tidak ada lagi Windows 11, dst, karena update dan upgrade akan langsung dirilis dan bisa diinstall langsung saat itu juga melalui Windows Update.

    Maka Windows 10 sekarang ini pun juga jadi kurang stabil, bahkan sempat ada bug di update terbaru dimana penggunanya sampai kehilangan data !, tapi saya gk ngalamin itu, jadi gk tau detailnya gimana, apakah datanya hilang permanen atau cuma tersembunyikan yang bisa direstore kembali.

    Linux ini simple dan fleksibel, meski versi LTS sekalipun, kita masih bisa dapatkan software atau package dengan versi terbaru, bahkan dengan cara mencompile dan build sendiri dari source code !

    Saya agak kurang suka melakukan distribution upgrade, karena selalu menghasilkan masalah, saya lebih suka clean install kalau mau melakukan distribution upgrade, toh setting, dsb masih tersimpan di /home yang saya setup di partisi khusus yang berbeda dengan root (/).

    Alasan saya mengutamakan kestabilan karena untuk pekerjaan.

    Kalau mau update/upgrade, saya mesti baca Changelog-nya dulu, perlu atau tidaknya, tergantung perubahan apa yang dibawa oleh versi terbaru.

    Tapi, saya selalu mengikuti versi terbaru di mesin berbeda, entah itu di PC khusus, atau di virtual machine.

    Ribet sob, update/upgrade mulu, apalagi tiap saat, tiap hari, tiap jam, saya pernah pakai Rolling Release itu ketika pakai openSUSE Tumbleweed.

    Saya berhenti pakai sistem Rolling Release ketika sistem saya rusak, buggy, unstable ketika dapat versi baru yang katanya sudah stable.

    Intinya sih sesuaikan dengan kebutuhan saja.

Leave a Reply to Ali Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *